Mendekati pasar anak muda memang tidak mudah. Kita harus mengetahui kehidupan mereka, mulai dari perilaku, kebiasaan, apa yang mereka sukai, dan termasuk menyelami lingkungan sosial mereka. Jika kita sudah menguasai semua itu, pasar anak muda akan mudah diraih.

Salah satu aspek yang dapat kita masuki adalah kehidupan sosial mereka. Kini mereka tengah menggandrungi beragam media sosial, sebut saja Twitter, Instagram, dan Path. Hampir semua anak muda memiliki semua platform media sosial tersebut. Mereka menggunakannya untuk bersosialisasi dan menjaga eksistensi diri.

Dari kegunaannya yang hampir 24/7 itu, banyak pemasar yang melihat potensi media sosial sebagai tempat mempromosikan produk. Akun media sosial dibuat sebagai toko online. Berbagai pancingan untuk menarik pasar anak muda pun dihadirkan. Di sinilah konsep youth marketing mulai digunakan.

Konsep youth marketing dapat digunakan dalam beragam platform, terutama Instagram. Kini sudah sangat banyak toko online yang menjual produknya melalui Instagram. Para penjual tersebut bukanlah sebuah toko yang sudah sukses dan hanya ingin meraih eksistensi dengan membuat akun Instagram. Kebanyakan dari penjual tersebut adalah anak muda dengan produksi skala kecil dan menengah. Jika penjualan mereka telah berhasil, dibuatlah website, baik sebagai e-commerce atau hanya “etalase” online saja tanpa ada transaksi dalam website-nya. Lalu bagaimana mereka bisa bertahan di tengah banyaknya penjual lain?

Mereka menggunakan konsep youth marketing, yaitu dengan cara mengambil hati anak muda. Dengan riset yang cukup tajam, mereka dapat menciptakan produk sesuai dengan target yang dibidik. Untungnya si produsen sendiri adalah anak muda—tentunya menjadi cukup mudah untuk memainkan pasar yang sesuai dengan usianya. Setelah produk hadir, dibangunlah karakter brand yang cukup kuat dan dekat dengan anak muda.

Kita dapat mengambil contoh seorang fashion blogger terkenal, Diana Rikasari. Ia dapat mengetahui pasar fashion untuk perempuan dengan menyasar kepada alas kaki yang digunakan. Ia tahu perempuan ingin gaya dengan sepatu hak tinggi, tetapi tetap nyaman dipakai. Maka, Diana mengambil wedges atau sepatu berhak tinggi yang tebal sebagai produk andalannya. Dibandingkan high heels, tentu penampilan wedges akan kalah jika dilihat dari sisi kecantikan dan keseksian bentuknya. Dari fakta tersebut, Diana menciptakan wedges dengan desain yang unik dan personal. Ia tahu bahwa setiap perempuan ingin memiliki benda yang tidak sama dengan orang lain.

Berangkat dari konsep youth marketing itulah Diana mengembangkan usahanya. Ia memiliki website e-commerce dan juga akun Instagram khusus produk sepatu wedges-nya. Setelah konsumen puas, ia secara tidak langsung akan “pamer” dalam akun Instagram itu dengan menyertakan brand dari sepatu tersebut. Pemasaran melalui testimoni dimulai. Dan, konsep youth marketing tanpa iklan pun berhasil dijalankan.


youth-marketingTidak mudah memahami pasar anak muda. Hal itu yang menarik minat Ghani Kunto untuk membuat buku yang berjudul Youth Marketing. Berbagai trik untuk mengoptimalkan strategi marketing dengan memancing suara anak muda hadir dalam buku ini.