Di beberapa negara, jamuan teh ternyata menjadi tradisi yang sangat kuat dan mengakar. Bukan hanya menjadi gaya hidup, jamuan teh bahkan bersinggungan dengan ritual agama. Salah satu aliran Buddha, Zen misalnya, memiliki bagian khusus tentang seni menyeduh teh yang dipelajari.
Di beberapa negara, jamuan teh ternyata menjadi tradisi yang sangat kuat dan mengakar. Bukan hanya menjadi gaya hidup, jamuan teh bahkan bersinggungan dengan ritual agama.
Salah satu aliran Buddha, Zen misalnya, memiliki bagian khusus tentang seni menyeduh teh yang dipelajari. Seni tersebut disebut chanoyu yang berkembang di kalangan bangsawan maupun samurai Jepang. Disebut juga chado (the way of tea), seni ini merupakan jamuan teh untuk para tamu yang diadakan di ruangan khusus yang disebut chashitsu.
Tuan rumah akan menata sedemikian rupa ruangan tersebut menyesuaikan dengan musim dan kepribadian tamu yang diundang. Ini merupakan cerminan budaya Jepang yang luhur akan penghormatan tuan rumah kepada tamunya. Tidak sembarang orang dapat melakukan ritual chanoyu karena untuk mempelajarinya dibutuhkan waktu yang cukup lama. Bagi yang ingin jadi peserta pun, minimal harus mengetahui dasar-dasarnya mulai dari peralatan, jenis teh, hingga aksesori untuk dekorasi chashitsu.
Lain halnya dengan ritual di negeri Cina. Sebagai negeri yang pertama kali menemukan teh, Cina punya sejarah cukup panjang dengan tanaman yang memiliki unsur kafein alami ini. Di bagian barat daya Cina, tepatnya di Provinsi Yunnan, teh banyak ditemukan karena kondisi iklimnya yang tropis dan sub-tropis. Bahkan hingga kini, masih terdapat tanaman teh liar yang berusia 2.700 tahun.
Jamuan teh yang paling terkenal di Cina salah satunya adalah gongfucha yang merupakan seni menyeduh teh untuk menghasilkan rasa dan aroma teh terbaik. Berbeda dengan chanoyu, gongfucha bukanlah upacara atau ritual, melainkan lebih kepada seni meracik teh yang memerhatikan daun teh, perangkat, air yang digunakan, dan proses penyeduhannya.
Yang unik adalah cara penyajian gongfucha. Tatkala cangkir diisi teh oleh tuan rumah, tamu akan menekuk jari tengah dan jari telunjuk, lalu mengetukkannnya ke meja sebagai tanda hormat dan ucapan terima kasih. Tradisi ini ternyata punya nilai sejarah ketika Kaisar Qian Long dari Dinasti Qing menyamar sebagai rakyat jelata. Saat Kaisar menyajikan teh kepada pelayannya, para pelayan berinisiatif mengungkapkan rasa hormat dan terima kasihnya dengan ketukan jari. Hal ini dilakukan untuk menghindari identitas Kaisar karena kebiasaan pelayannya adalah membungkukkan badan untuk menghormatinya.
Di Korea juga terdapat jamuan teh yang disebut darye. Meski tidak sepopuler di Jepang dan Cina, darye sendiri lebih mirip gongfucha—terutama tujuannya untuk menghasilkan aroma dan rasa teh terbaik. Ini dapat dimaklumi karena sejarah teh Korea berasal dari Cina seperti tertulis dalam salah satu teks kuno. Salah satu ciri khas teh Korea adalah racikannya yang masih diproduksi manual dengan tangan. Berbeda dengan di Jepang yang sudah menggunakan mesin.
Seni jamuan teh di Korea begitu terasa ketika sang penyaji menghadap meja pendek mengenakan pakaian tradisional Korea (hanbok), lalu menggerakkan tangannya dengan anggun sambil memegang peralatan jamuan yang terdiri dari teko, tempat menyimpan daun teh, wadah untuk membuang air seduhan, lap kain, nampan, gelas teh beserta tatakannya. Kini, ritual minum teh di Korea diiringi alunan musik tradisional yang banyak ditemui di acara-acara hari penting dan jamuan tamu khusus. Meski suasana darye terkesan santai, jamuan ini biasanya terlihat lebih formal.
Adapun di Inggris, jamuan teh menyesuaikan dengan waktu tertentu, dikenal dengan afternoon tea. Pencetusnya adalah seorang bangsawan Inggris, Anna Russell, Duchess of Bedford. Ia merasa ada jeda yang cukup lama antara makan siang dan makan malam. Maka lahirlah afternoon tea yang dilakukan setiap jam 4 sore. Teh disajikan dengan makanan kecil.
Bagaimana dengan jamuan teh di Indonesia? Jangan salah, sebagai negara yang kaya budaya dan sumber daya alam, Indonesia punya ragam tradisi teh di beberapa daerah. Di Jawa ada istilah nasgitel (panas, legi, dan kentel), merujuk kepada kondisi yang pas untuk menyajikan teh poci.
Poci sendiri adalah teko yang terbuat dari tanah liat. Sajian teh poci biasanya dipadukan dengan gula batu sebagai pemanis. Gula tersebut digoyang-goyangkan ke dalam teh poci hingga larut. Dari pahit berubah menjadi manis. Filosofinya adalah hidup memang pahit di awal. Jika melaluinya dengan sabar, tentu hasilnya akan manis. Jamuan teh poci cukup populer di daerah Cirebon, Tegal, Slawi, Pemalang, dan sekitarnya.
Teh nasgitel biasanya disajikan dengan camilan seperti singkong rebus, uli, pisang goreng, dan lain-lain. Dinikmati dalam suasana santai bersama teman dan orang terdekat, nasgitel mudah ditemui di angkirangan-angkringan.
Di tanah Sunda, menikmati teh bersama camilan dikenal dengan istilah nyaneut. Dasarnya dari kata haneut atau hangat karena menikmatinya sambil menghangatkan badan di depan hawu, sistem perapian yang terbuat dari tanah liat. Umumnya sajian teh di Jawa Barat tanpa pemanis.
Banyak lagi tradisi jamuan teh yang dilakukan di beberapa negara dan daerah lainnya di Indonesia. Temukan kisah lengkapnya di buku “The Story in A Cup of Tea” yang ditulis Ratna Somantri, seorang pakar teh yang sudah malang-melintang mencicipi teh di berbagai negara. Buku ini juga memberi banyak gambaran tentang falsafah hidup yang terkandung dalam tiap sajian teh. Ada juga beberapa resep makanan yang terbuat dari teh beserta khasiatnya. Dipastikan, buku ini akan membuat Anda jatuh cinta pada teh.