Benny G. Setiono, dilahirkan di Desa Ceracas, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan Jawa Barat pada 31 Oktober 1943. Pada 1947, rumahnya dibakar oleh gerombolan yang menamakan diri sebagai laskar rakyat dan kakeknya menjadi korban pembunuhan laskar Hisbullah. Kejadian tersebut menyebabkan kedua orangtuanya bersama anak-anaknya mengungsi ke kota Cirebon. Dari Cirebon, mereka kemudian hijrah ke Jakarta dengan kapal motor. Benny kemudian bersekolah dan besar di Jakarta.
Sang ayah, Endang Sunarko (Khow Sing Eng), adalah penulis yang rajin mengirimkan artikelnya ke majalah Pantjawarna, koran Sin Po, dan sebagainya. Sunarko telah menulis beberapa buku antara lain Chiang Kai Sek dan Khong Hoe Tjoe (1941), Chuang Tse, Pudjangga yang Tadjam dan Djenaka Penaya (cetakan kesatu 1950 dan cetakan kedua 1952), Mimbar Pahlawan Wanita RRT (1952), Tiongkok Baru Kawan atau Lawan (1953), dan Hitler (1992).
Benny G. Setiono pernah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Res Publica (Ureca) hingga tingkat tiga. Namun, terpaksa drop out akibat kampusnya dibakar rombongan KAMI/KAPPI dengan dukungan milisi. Pada 1999, ia turut mendirikan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) dan tahun 2002 turut mendirikan Lembaga Kajian Masalah Kebangsaan (ELKASA).
Benny G. Setiono adalah peraih Weirtheim Award tahun 2008. Weirtheim Award diberikan kepada mereka yang telah berkontribusi terhadap usaha Emansipasi Nasion Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya. Hasil studi dan analisisnya yang terpenting kini diterbitkan kembali oleh TransMedia Pustaka berjudul TIONGHOA DALAM PUSARAN POLITIK. Sebuah buku yang mengungkap fakta sejarah tersembunyi orang Tionghoa di Indonesia.